Kamis, 02 April 2015

Mengatur ”Kompas” Internet di Indonesia

// // Leave a Comment
KOMPAS.com - Ada kerja yang tidak sederhana dalam setiap alamat yang kita ketik di bilah alamat pada peramban web. Sebagian pengguna internet akan lebih mengingat alamat seperti www.kompas.com ketimbang 202.61.113.35 atau alamat IP (”internet protocol”). Apabila dicantumkan ke bilah alamat, keduanya akan merujuk ke situs yang sama.

Dalam jaringan internet, sebetulnya tidak dikenal alamat menggunakan huruf sepertikompas.com, karena semua halaman web diatur berdasarkan susunan angka.

Mengubah alamat yang mudah diingat menjadi angka alamat IP itulah tugas yang diemban domain name server (DNS) sehingga pengguna internet hanya perlu mencantumkan alamat seperti kompas.com saja tanpa harus mengingat susunan angka alamat IP.

Analogi dari peran DNS beragam, ada yang menyebutnya seperti buku telepon, tetapi ada pula yang menganggapnya seperti Kompas yang memberikan panduan jalan.

Semuanya tidak meleset karena setiap halaman web yang hendak kita akses atau alamat surat elektronik yang akan dikirim, DNS menjadi panduan agar permintaan tersebut bisa dipenuhi, dari nama menjadi nomor.

Dengan demikian, setiap penyedia jasa internet akan memiliki DNS-nya masing-masing meski kita masih bisa dibebaskan untuk menggunakan DNS lain, seperti DNS publik milik Google, atau Open DNS.

Beralih DNS memiliki banyak tujuan, seperti menghindari sensor internet dari pemerintah, seperti dilakukan dalam demonstrasi di Turki pada tahun 2013-2014. Salah satu imbas dari aksi unjuk rasa tersebut adalah kebijakan untuk memblokir ribuan situs web dengan tujuan membatasi informasi bagi warga lainnya, termasuk layanan mikroblogging Twitter dan layanan video Youtube.

Dengan pemblokiran tersebut, alamat-alamat dalam daftar DNS yang digunakan penyedia jasa internet itu seperti dicoret sehingga tidak bisa diakses meskipun pengguna mengetikkan nama situs ataupun alamat IP-nya.

Tidak mau kalah, para pengunjuk rasa pun menulis angka 8.8.8.8 dan 8.8.4.4 di berbagai tempat, dua angka itu adalah DNS publik milik Google yang bisa digunakan untuk mengetahui cara mengitari pemblokiran tersebut. Dengan menggunakan DNS publik, alamat-alamat yang semula diblokir pemerintah kini bisa diakses.

Di belahan bumi yang lain, penggunaan DNS publik juga dilakukan untuk mengakali sensor internet yang dilakukan pemerintah dari situs-situs mengandung muatan pornografi.

Indonesia adalah salah satu negara yang mewajibkan para penyelenggara jasa internet untuk memblokir situs-situs yang masuk dalam daftar Trust Positif, umumnya karena mengandung muatan pornografi.

DNS publik pun dipakai untuk berkelit dari sensor ini dan kembali mengakses situs yang dilarang oleh pemerintah. Sebagian punya alasan yang kuat karena ada beberapa situs yang dilarang, padahal sepenuhnya tidak bermuatan pornografi, seperti layanan video Vimeo.

Konten negatif

Namun, dalam beberapa minggu terakhir, marak pemberitaan mengenai inisiatif dari beberapa penyedia jasa internet yang memblokir penggunaan DNS publik.

Beberapa nama, seperti Biznet dan Telkom Speedy, membatasi pengguna untuk hanya memakai DNS yang mereka pakai, setiap koneksi menggunakan DNS publik akan berakhir dengan kegagalan.

Muncul tudingan bahwa langkah tersebut merupakan paksaan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, tetapi hal tersebut dibantah melalui rilis yang dikeluarkan tanggal 9 Oktober 2014.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan tidak pernah meminta penyedia jasa internet memblokir DNS tertentu.

Ketentuan yang didasarkan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negatif.

Meski demikian, ada kalimat yang menarik dari rilis itu, yakni ”ISP dapat menggunakan DNS server yang dikelola sendiri atau memanfaatkan layanan DNS server yang disediakan pihak lain, dimana keduanya tetap mengacu kepada penanganan situs internet bermuatan negatif dan memuat sekurang-kurangnya daftar alamat situs yang terdaftar dalam daftar Trust Positif”.

Dalam sebuah diskusi terkait internet di Jakarta pada bulan Juni, Direktur E-Bisnis Kementerian Komunikasi dan Informatika Azhar Hasyim pernah berujar bahwa penyedia jasa internet memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa para pengguna mendapatkan konten internet yang aman.

Tanggung jawab tersebut juga bisa berupa sanksi jika mereka membiarkan pengguna mengakses konten yang disensor.

Bisa jadi inilah penjelasan dari langkah para penyedia jasa internet untuk membatasi pengguna dari DNS publik, yakni memastikan tidak ada akses situs yang disensor menggunakan layanan internet.

Pembatasan ini pun masih bisa diakali dengan menggunakan metode yang banyak dibagi di internet, misalnya DNSCrypt.

Menyensor konten di internet memang mustahil karena selalu ada cara untuk mengatasi pembatasan yang dilakukan pihak tertentu. Yang lebih utama barangkali adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat mengapa konten-konten tersebut harus dibatasi.

0 komentar:

Posting Komentar